Divergent: Film Fiksi Ilmiah 2014

by Jhon Lennon 34 views

Guys, mari kita ngobrolin soal film yang bikin heboh di tahun 2014, yaitu Divergent. Film ini bukan sekadar tontonan biasa, lho. Ia mengajak kita menyelami dunia distopia yang penuh dengan pertarungan identitas dan pemberontakan. Kalau kamu suka cerita yang punya makna mendalam sekaligus adegan aksi yang menegangkan, maka Divergent ini wajib banget masuk watchlist kamu. Film yang disutradarai oleh Neil Burger ini diadaptasi dari novel best-seller karya Veronica Roth dengan judul yang sama. Ceritanya berlatar di kota Chicago pasca-apokaliptik, di mana masyarakatnya dibagi menjadi lima faksi berdasarkan sifat dan kebajikan yang dominan. Faksi-faksi ini adalah: Abnegation (kaum tanpa pamrih), Amity (kaum damai), Candor (kaum jujur), Dauntless (kaum pemberani), dan Erudite (kaum cerdas). Setiap individu diwajibkan untuk memilih faksi mereka saat upacara inisiasi yang diadakan pada usia 16 tahun. Pilihan ini akan menentukan seluruh jalan hidup mereka, mulai dari pekerjaan hingga tempat tinggal. Nah, di sinilah letak konflik utamanya. Tokoh sentral kita, Beatrice "Tris" Prior, yang diperankan dengan apik oleh Shailene Woodley, mulai mempertanyakan sistem yang ada. Tris berasal dari faksi Abnegation, namun saat masa penentuan faksi, ia menemukan bahwa dirinya adalah seorang Divergent. Apa itu Divergent, guys? Jadi, Divergent itu adalah individu yang tidak cocok dengan satu faksi saja, melainkan memiliki bakat dan kecenderungan di beberapa faksi sekaligus. Kondisi ini dianggap berbahaya bagi stabilitas masyarakat, karena Divergent tidak bisa dikontrol dan dianggap sebagai ancaman oleh para pemimpin faksi, terutama dari faksi Erudite yang haus kekuasaan dan pengetahuan. Tris harus menyembunyikan jati dirinya yang Divergent agar bisa bertahan hidup dan berjuang di faksi barunya, yaitu Dauntless. Di faksi Dauntless, ia harus menjalani serangkaian pelatihan fisik dan mental yang sangat berat, diuji sampai batas kemampuan, dan dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit yang menguji kesetiaan dan keberaniannya. Perjalanannya ini tidak sendirian, ia ditemani oleh instruktur Dauntless yang misterius dan tampan, Four (diperankan oleh Theo James), yang ternyata memiliki rahasia kelamnya sendiri. Film ini bukan cuma soal aksi tembak-tembakan atau pertarungan fisik, lho. Lebih dari itu, Divergent menyajikan sebuah kritik sosial yang tajam tentang bagaimana masyarakat seringkali mencoba mengkotak-kotakkan individu berdasarkan stereotip dan keseragaman. Ia mempertanyakan arti sebenarnya dari identitas dan kebebasan memilih. Apakah kita harus mengikuti apa kata masyarakat, atau berani menjadi diri sendiri meskipun itu berarti berbeda dan berisiko? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang membuat film ini begitu relevan dan menarik untuk dibahas. Ditambah lagi, visual effects dan desain produksinya juga patut diacungi jempol. Dunia yang dibangun dalam film ini terasa nyata, mulai dari arsitektur kota yang unik hingga kostum para anggota faksi yang mencerminkan karakter mereka. Adegan-adegan aksinya pun dieksekusi dengan baik, membuat penonton ikut tegang mengikuti setiap pergerakan Tris dan kawan-kawannya. Jadi, buat kalian yang belum nonton, siap-siap aja dibawa masuk ke dunia yang penuh intrik, pengorbanan, dan keberanian. Film ini bukan hanya sekadar hiburan, tapi juga sebuah ajakan untuk merenungkan nilai-nilai penting dalam kehidupan.

Perjalanan Tris Menuju Identitas Sejati

Oke, jadi kita udah sedikit cerita soal premis film Divergent. Sekarang, mari kita dalem-dalemin lagi perjalanan Tris Prior yang benar-benar epic. Awalnya, Tris itu gadis biasa dari faksi Abnegation, faksi yang terkenal dengan sikapnya yang nggak egois dan selalu mengutamakan kepentingan orang lain. Bayangin aja, guys, hidup di lingkungan di mana kamu harus selalu mikirin orang lain duluan, bahkan kadang ngorbanin diri sendiri. Nggak heran kan kalau Tris kadang merasa ada sesuatu yang kurang pas dalam hidupnya? Nah, pas upacara Aptitude Test (Tes Bakat), yang seharusnya ngasih tahu dia bakal cocok di faksi mana, hasilnya malah bikin bingung. Dia ngeliat tiga simulasi berbeda yang nunjukkin dia bisa cocok di Abnegation, tapi juga punya potensi di faksi lain, yaitu Dauntless dan Erudite. Ini yang bikin dia jadi Divergent. Kenapa ini jadi masalah besar? Karena masyarakat yang terpecah-pecah jadi faksi ini percaya banget sama keseragaman. Mereka takut sama orang yang nggak bisa diklasifikasin, orang yang punya banyak sisi. Kenapa? Karena orang kayak gitu susah dikontrol, guys. Mereka bisa jadi ancaman buat stabilitas yang udah dibangun susah payah. Jadi, Tris harus banget nutupin jati dirinya yang asli kalau mau selamat. Dia akhirnya milih faksi Dauntless, faksi para pemberani. Kenapa Dauntless? Mungkin karena secara nggak sadar, dia merasa lebih terhubung sama nilai-nilai keberanian dan petualangan. Tapi, masuk ke Dauntless itu nggak gampang. Para calon anggota baru harus melewati serangkaian tes yang brutal, yang disebut Initiation. Tes ini dibagi jadi tiga tahap. Tahap pertama itu fisik, di mana mereka harus berantem, latihan fisik ekstrem, dan nunjukkin keberanian dalam situasi berbahaya. Tris, yang awalnya kecil dan nggak terlalu kuat secara fisik, harus berjuang ekstra keras di sini. Dia sering jadi bulan-bulanan, tapi dia nggak pernah nyerah. Dia punya grit yang luar biasa, guys. Terus, ada tahap kedua, yaitu tes psikologis, di mana mereka dihadapkan sama simulasi ketakutan mereka sendiri. Di sini lah sisi Divergent Tris mulai keliatan lagi. Dia bisa memanipulasi simulasi ini, menemukan cara-cara cerdas buat ngalahin ketakutan yang mustahil sekalipun. Ini yang bikin para instruktur, terutama Four, jadi curiga sekaligus tertarik sama dia. Four ini instruktur utama yang keras tapi juga punya sisi penyayang. Dia jadi semacam mentor sekaligus sosok yang bikin Tris penasaran. Hubungan mereka berkembang jadi sesuatu yang lebih dari sekadar instruktur-murid, tapi juga ada unsur romansa yang bikin cerita makin seru. Tahap ketiga adalah tes terakhir yang nguji kesetiaan dan kemampuan mereka untuk beradaptasi di dunia nyata Dauntless. Di sinilah Tris harus bikin pilihan yang paling sulit, yang mempertaruhkan nyawa dirinya dan orang-orang terdekatnya. Sepanjang proses inisiasi ini, Tris nggak cuma berjuang ngelawan musuh atau ngalahin tes. Dia juga berjuang sama dirinya sendiri. Dia harus belajar percaya sama instingnya, belajar menerima bahwa jadi berbeda itu bukan kelemahan, tapi justru kekuatan. Dia belajar mendobrak batasan yang selama ini dibuat oleh masyarakat dan bahkan batasan yang dibuat oleh dirinya sendiri. Dia mulai melihat bahwa sistem faksi yang katanya menciptakan kedamaian ini justru menindas dan membatasi potensi manusia. Dia sadar kalau Divergent itu bukan ancaman, tapi harapan. Harapan untuk dunia yang lebih baik, yang nggak kaku dan nggak menakut-nakuti perbedaan. Jadi, perjalanan Tris ini bukan cuma tentang jadi prajurit Dauntless yang tangguh, tapi lebih ke perjalanan menemukan jati dirinya yang sebenarnya, belajar menerima keunikan dirinya, dan akhirnya berani melawan ketidakadilan.

Dunia Fiksi Ilmiah yang Unik dan Relevan

Ngomongin soal film Divergent, kita nggak bisa lepas dari dunia fiksi ilmiah unik yang dibangun Veronica Roth dan diwujudkan secara visual oleh sutradara Neil Burger. Dunia ini, guys, adalah sebuah mahakarya yang punya lapisan makna mendalam, bukan sekadar latar belakang cerita aja. Bayangin deh, kota Chicago yang dulunya metropolis sibuk, sekarang jadi reruntuhan pasca-apokaliptik. Tapi, alih-alih membiarkan kekacauan merajalela, para penyintasnya justru menciptakan sistem yang kaku banget: lima faksi. Faksi-faksi ini bukan cuma kelompok biasa, tapi fondasi dari seluruh tatanan sosial. Abnegation yang hidup sederhana dan mengutamakan pengabdian, Amity yang selalu ceria dan damai, Candor yang menjunjung tinggi kejujuran sampai kadang menyakitkan, Dauntless yang pemberani dan jadi penjaga keamanan, dan Erudite yang haus ilmu pengetahuan dan jadi para pemikir. Sistem ini diciptakan konon untuk mencegah konflik yang pernah menghancurkan dunia sebelumnya. Idenya sih bagus, kayak 'mari kita fokus pada satu kelebihan agar kita bisa jadi yang terbaik di bidang itu'. Tapi, realitanya, guys, sistem ini justru jadi penjara buat individu. Setiap orang dipaksa masuk ke dalam kotak yang udah disediain, dan kalau kamu nggak pas di kotak itu, kamu dianggap cacat atau berbahaya. Inilah yang bikin film ini relevan banget sama kehidupan kita sekarang. Kita sering banget dihadapkan sama tekanan buat jadi 'normal', buat masuk ke dalam ekspektasi masyarakat. Mau itu soal karir, penampilan, atau bahkan cara berpikir. Kalau kamu beda sedikit aja, bisa jadi kamu langsung dicap aneh, nggak asik, atau bahkan diasingkan. Film Divergent nunjukkin konsekuensi ekstrem dari pemikiran kayak gitu. Di dunia mereka, 'berbeda' itu bukan cuma soal selera musik, tapi soal ancaman eksistensial. Divergent, yang punya potensi di banyak faksi, itu kayak duri dalam daging buat sistem yang pengen segalanya teratur. Mereka adalah anomali yang harus dieliminasi. Desain visual dunia ini juga keren banget. Kostum para anggota faksi itu ngasih gambaran jelas tentang siapa mereka. Abnegation pakai baju abu-abu yang polos, Dauntless pakai pakaian hitam yang keren dan praktis, Erudite pakai baju biru yang kelihatan cerdas. Arsitektur kota yang sebagian megah, sebagian lagi hancur, juga menciptakan kontras yang menarik. Terus, teknologi yang dipakai juga futuristik tapi tetap terasa membumi, kayak kereta gantung Dauntless yang melesat antar gedung, atau simulasi ketakutan yang canggih banget. Tapi, yang paling penting dari dunia fiksi ilmiah ini adalah pesan moralnya. Divergent mempertanyakan apa arti sebenarnya dari identitas. Apakah identitas kita ditentukan oleh apa yang kita lakukan, atau oleh siapa diri kita sebenarnya? Apakah kita harus mengorbankan keunikan kita demi keamanan dan penerimaan sosial? Film ini juga mengangkat isu tentang kekuasaan dan korupsi. Faksi Erudite, yang seharusnya jadi sumber kebijaksanaan, malah jadi dalang di balik rencana jahat untuk menguasai faksi lain. Ini kan mirip banget sama dunia nyata, di mana kekuasaan seringkali merusak orang. Pesan tentang bahaya dari sistem yang terlalu terkontrol dan pentingnya keberanian untuk melawan ketidakadilan itu terasa kuat banget. Film ini mengajak kita buat mikir, 'Gimana kalau di dunia kita sendiri, kita dipaksa jadi sesuatu yang bukan diri kita? Apa yang bakal kita lakuin?' Jadi, dunia fiksi ilmiah Divergent ini bukan cuma keren secara visual, tapi juga sarat makna yang bikin kita mikir panjang lebar setelah nonton. Ini yang bikin film ini nggak cuma sekadar film action, tapi juga film yang punya bobot dan relevansi.